calendar


Sabtu, 14 April 2012

MANESTA EDELWEIS JINGGA


MASIH SAMA



 
"Papa" panggil Silvya, gadis cantik berkulit putih dengan mata coklatnya itu menambah kesan 'sempurna' dalam dirinya, ditambah lagi dengan harta melimpah yang didapatkannya dari sang Ayah, Dokter terkenal sekaligus pemilik Rumah Sakit terbesar di Indonesia.
"Ada apa, Silvya?" tanya Radityawan pada putri semata wayangnya yang menatapnya dengan kesal.
"Bisakah Papa tidak memberikan banyak tugas untuk Satrya?" pinta Silvya yang duduk dihadapan Ayahnya. Papa yang mendengar permintaan Silvya hanya tersenyum geli, kini dia tau kenapa permaisurinyanya itu begitu kesal dengannya. Ini semua ada sangkut pautnya dengan kekasih dari Silvya yaitu Satrya Putra. Seorang Dokter Muda yang bekerja di Rumah Sakit Ayah Silvya, atau bisa dikatakan Rumah Sakit milik calon ayah mertuanya.
"Sayang, itu memang sudah kewajiban Satrya untuk melayani pasiennya" kata Papa lembut.
"Tapi Satrya juga punya kewajiban untuk menemaniku, akukan calon istri nya" ucap Silvya dengan menekan kalimatnya dan mengerucutkan bibir nya.
"Ya ampun, putri Papa jangan ngambek dong. Nanti Papa akan memberitahu Satrya untuk meluangkan waktunya untukmu" bujuk Papa.
"Janji?" tanya Silvya dengan mata yang berbinar-binar, Papa yang melihatnya tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih Pa. Aku sangat sayang sama Papa" Silvya memeluk Papanya sambil membenamkan kepalanya pada dada bidang Papa.
"Kau ini, sudah hampir menjadi istri tapi tetap saja manja" gumam Papa.
"Biarin, yang penting Satrya cinta padaku" ledek Silvya dan kembali tersenyum.
Satrya Putra, pria berparas tampan dengan kulit sawo matang, rambut hitam kecoklatan dan setelan jas berwarna putih juga stetoskop yang dikalungkannya dileher panjangnya itu baru saja keluar dari ruangan UGD. Dia membuka sarung tangan karet nya dan memberikannya pada seorang suster yang berjalan disampingnya. Satrya berjalan dengan penuh kewibawaan dan kharisma dari dalam dirinya. Sesekali dia tersenyum pada orang-orang yang menyapanya, seolah semua orang yang berada disana takluk padanya, mengingat bahwa dia adalah seorang Dokter hebat yang sebentar lagi akan menjadi calon menantu dari Kepala Dokter sekaligus pemilik Rumah Sakit mewah bertaraf International di Indonesia.
Satrya masuk kedalam ruangannya, membuka stetoskop dan menyimpannya diatas meja, lalu membuka jas putih yang dipakainya tadi pada kursi empuk berwarna hitam, kini Satrya hanya memakai kemeja berwarna biru muda dengan celana kain berwarna putih, dia duduk ditempatnya, merenggangkan otot-otot tangan dan lehernya, sedetik kemudian dia menghentikan kegiatannya itu saat pintu ruangannya terbuka dan tampaklah Silvya dengan pakaian modisnya berdiri didepan pintu dengan raut wajah kesal.
"Aku baru saja ingin menghubungi mu" ujar Satrya, Silvya hanya tersenyum kecut mendengarnya.
"Malam inikan kau berjanji padaku untuk makan malam bersama. Kau tidak lupakan?" Silvya menatap Satrya.
"Hahaha, tentu saja tidak. Mau pergi sekarang?"
Wajah Silvya berubah menjadi senang seketika itu juga, Satrya berdiri dari duduknya, berjalan menghampiri Silvya, menarik tangan Silvya lembut dan merangkulnya dengan sangat mesra.
"Dokter Satrya… Dokter…"
Satrya dan Silvya menghentikan langkahnya saat mendengar suara yang memanggil Satrya dari belakang. Mereka berbalik dan seorang suster tengah berlari-lari kecil menghampiri Satrya dan Silvya.
"Ada apa suster?" tanya Satrya pada suster berparas manis bernama Intan itu.
"Pasien dikamar 205 mengalami mimisan hebat Dok, kami butuh bantuan anda" jawab suster dengan cemas. Satrya menengok kearah Silvya yang mencibir.
"Silvya ..aku..."
"Sudahlah. Lupakan saja makan malam kita" Silvya marah dan meninggalkan Satrya.
"Kau kembalilah, 15 menit lagi aku kesana" suruh Satrya, suster mengangguk dan berjalan menjauh, sedangkan Satrya mengejar Silvya kearah parkiran.
"Silvya, tunggu" Satrya menarik lengan Silvya yang sudah membuka pintu mobilnya.
"Apa lagi? Sudahlah, urus saja pasienmu itu" Silvya menepis tangan Satrya.
"Mengertilah sedikit Silvya, ini masalah nyawa" ujar Satrya pelan.
"Mengerti? Aku sudah selalu mengerti mu, ini bukan yang pertama kalinya kau membatalkan janji yang kau buat sendiri, dan ini masalah perasaan Sat, perasaan ku" jelas Silvya yang hampir tecekat karena menahan tangis.
"Aku janji, ini yang terakhir kalinya" mohon Satrya.
Silvya memandang Satrya sebentar, menggelengkan kepalanya dan masuk kedalam mobilnya. Silvya melajukan mobilnya menjauh dari Satrya.
"SILVYA!!" teriak Satrya dan berlari kearah mobilnya, lalu mengejar Silvya.
Silvya  menghapus air matanya dengan 1 tangannya, sedangkan tangannya masih memegang stir mobil. Dari arah kaca spion, dia bisa melihat mobil Satrya yang mengejarnya. Silvya mengambil ponselnya yang berbunyi...
"Silvya  hentikan mobilmu. Kita bicara baik-baik" ucap Satrya dari balik telepon.
"Aku kecewa padamu Sat, aku benci sifatmu ini" isak Silvya yang masih menjalankan mobilnya.
"Aku minta maaf Silvya, tolong hentikan mobilmu sekarang" kata Satrya yang mulai tak fokus dengan jalanan dihadapannya.
"AKU LELAH SAT" teriak Silvya dan menangis dengan keras.
"Silvya aku......ARRRRGGGHHHHHHHH"
CKKKIIITTTT............BBBRRAAKKK........
Silvya menghentikan mobilnya saat itu juga setelah mendengar teriakan Satrya dan suara benturan yang sangat keras dari arah belakang. Silvya buru-buru membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana, ponsel yang dipegangnya saat itu juga jatuh diatas aspal dan hancur berkeping-keping melihat kejadian yang berada tak jauh didepannya. Mobil sport berwarna merah yang sangat dikenalinya itu tertindih mobil lain yang lebih besar dan mengeluarkan asap dipersimpangan jalan. Air mata dan jantung Silvya berdetak lebih cepat, tubuhnya kaku tak bisa bergerak sama sekali.
"Saaattt" lirih Silvya pelan.
Rintik-rintik hujan turun membasahi kota Jakarta saat itu, seolah ikut menangis karena telah kehilangan anak tuhan yang berhati malaikat dan berotak pintar, jika biasanya dialah yang menyelamatkan nyawa orang lain, dia malah tak bisa menyelamatkan nyawanya sendiri. Suara tangis dari beberapa kerabat pria itu menangis dengan tersedu menatap peti yang didalamnya terdapat pria yang terbujur kaku akan segera dimasukkan dalam kubur. Ibu dari pria itu telah pingsan karena tak kuasa menahan kesedihannya, sedangkan Silvya, wanita bermata coklat itu menatap kuburan Satrya dengan raut wajah datar, Radityawan melirik putrinya, merangkul bahu Silvya dan memeluknya.
"Hendra, Sintya, kami permisi dulu" pamit Radityawan dan Silvya.
Ayah Satrya menatap Silvya yang masih menampakkan raut wajah datar dan pandangan mata yang kosong, "Ikhlaskan Satrya, Sil"
Silvya menatap ayah Satrya dengan menggelengkan kepalanya dan mulai menangis, Sintya yang melihat itu ikut menangis dan lebih memilih diam.
"Hati-hati dijalan Dit" ujar ayah Satrya, Radityawan mengangguk dan melangkahkan kakinya bersama Silvya dengan masih merangkul bahu putri semata wayangnya itu.
3 bulan berlalu semenjak kematian Satrya, semua orang berduka dan merasa kehilangan atas perginya Dokter tampan itu. Setiap hari Silvya dihantui rasa bersalah, andai saja saat itu Satrya tak berjanji padanya, andai saja saat itu dia mau menunggu Satrya sebentar unttuk merawat pasiennya, andai saja saat itu dia tak marah padanya, andai saja saat itu dia tak bilang benci padanya, andai saja saat itu Satrya tak mengejarnya, mungkin kini dia masih bisa bersama Silvya. Angan-angan untuk menjadi nyonya Satrya pun menghilang, beserta hilangnya sosok seorang Satrya Putra dari hidupnya. Silvya hanya bisa berandai-andai saat ini, jika saja Tuhan memberinya kesempatan kedua, dia ingin menebus kesalahannya itu pada Satrya. Papa memandangi Silvya yang duduk dibalkon rumah mereka, semenjak perginya Satrya, Silvya menjadi pendiam dan lebih sering mengurung dirinya. Papa ingin diri Silvya yang dulu, Silvya yang manja, Silvya yang cerewet, Silvya yang akan selalu merengek jika menginginkan sesuatu, Silvya yang akan tersenyum lebar jika dia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.Papa mengalihkan pandangannya pada sebuah amplop coklat yang dipegangnya, dia berjalan menghampiri Silvya dan memberikan amplop tadi pada Silvya.
Silvya masuk kedalam Rumah Sakit milik Papanya itu dengan tergesa-gesa, mencari sebuah kamar yang diakatakan Papanya tadi. Silvya berhenti didepan sebuah kamar yang bernomor 135, Silvya menatap keseluruh ruangan yang cukup luas itu melalu kaca jendela didepan pintu, Silvya memegang knop pintu, memutarnya dan mendorongnya, Silvya masuk kedalam ruangan itu, pandangannya tertuju pada ranjang yang diatasnya tertidur seorang pria dengan alat infus dan alat oksigen yang dipakainya. Silvya menatap pria itu dari atas sampai kebawah, menelusuri setiap lekukan wajah pria berpas tampan nan manis yang dihadapannya.
"Namanya Reyhan Pratama, usianya 24 tahun, dia mengidap penyakit kelainan jantung sejak kecil, dia seorang yatim piatu. Saat keadaannya kronis dan membutuhkan donor jantung secepatnya, saat itulah Satrya datang menyelamatkannya dengan mendonorkan jantungnya. Papa tahu kau merasa bersalah dengan Satrya, cobalah untuk menebus rasa bersalahmu itu pada Reyhan, karena setengah dari diri Reyhan itu adalah Satrya"
Cerita Papa tadi masih terngiang ditelinga Silvya, menuntun tangannya untuk menyentuh dada pria bernama Reyhan itu. Dia bisa merasakan jika jantung milik Satrya masih berdetak dengan beraturan,Silvya segera menarik tangannya dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat dia kembali menangis.
"Reyhan" panggil Yunho
Pria yang dipanggil Reyhan itu tidak menyahut ataupun membalikkan tubuhnya, dia hanya terus memandangi anak-anak yang bermain di taman Rumah Sakit melalui jendela kamar rawatnya. Papa menghampiri Reyhan, menarik salah satu kursi dan duduk disamping Reyhan yang memang sedang diatas kursi rodanya.
"Reyhan, apa kau mau berjanji padaku untuk menjalani pengobatan lagi agar jantung baru dalam diri mu itu bisa bekerja dengan baik, jika Sania datang kemari?"
Papa berhasil membuat Reyhan menatapnya, dia telah berhasil membuat Reyhan mau mengeluarkan suaranya hanya dengan cara mengatakan bahwa Sania akan datang. Tapi perlu kalian ingat, bukan Sania yang asli, melainkan Sania yang palsu.
"Sania....akan kemari?" ulang Reyhan dengan suara pelan.
"Iya, Sania ada disini. Jadi, kau mau berjanjikan?"
Reyhan mengangguk dengan mata yang berbinar-binar dengan senyuman yang tampak seperti anak kecil. Rasanya Papa sudah sangat lama tidak melihat ekspresi bahagia dari salah satu pasien kesayangannya itu, semenjak Sania pergi, Reyhan kehilangan segalanya. Dan kini, kebahagiaan, semangat hidup, dan senyuman itu akan segera kembali pada Reyhan lagi.
"Reyhan"
Reyhan segera berbalik saat mendengar suara wanita yang memanggilnya, air matanya turun dari pelupuk matanya. Papa berdiri, mendorong kursi roda Reyhan untuk menghampiri Silvya yang mulai kini akan menjadi Sania dihadapan Reyhan.
"Sania"
Senyuman terukir diwajah Reyhan, senyuman yang begitu manis dan tampak seperti senyum anak kecil yang bahagia jika mendapatkan permen. Setes air mata mulai turun sedikit demi sedikit dari pelupuk mata Reyhan. Silvya ikut tersenyum melihatnya, entah kenapa hatinya bahagia melihat Reyhan, senyuman yang juga mirip dengan senyuman Satrya. Silvya menatap Papa, yang tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.
"Aku merindukan mu Reyhan" Silvya berjongkok didepan Reyhan dengan memeluk pria itu, Reyhan membalas pelukan Silvya. Silvya memandangi wajah damai Reyhan yang sedang tertidur, tidak seperti yang dilihatnya tempo hari, wajah Reyhan kini lebih segar dan terlihat dia begitu nyaman dalam tidurnya. Dia mungkin telah berhasil membuat keadaan Reyhan lebih baik semenjak kedatangannya yang sebagai Sania, bukankah itu berarti Sania sangat berarti untuknya?
"Sat, apa kau merasa kita dekat kembali?" kata Silvya yang memegang dada Reyhan.
"Papa" Silvya masuk kedalam ruangan, semenjak memutuskan untuk menyamar menjadi Sania, Silvya banyak menghabiskan waktunya di Rumah Sakit.
"Hmm?" Papa mengalihkan pandangannya pada Silvya dari beberapa berkas yang berada di hadapannya
"Apa Reyhan sudah bisa keluar Rumah Sakit?" tanya Silvya
"Dari hasil pemeriksaan, kesehatan Reyhan memang mulai stabil, padahal kau baru seminggu ini menemaninya" cerita Papa.
"Jadi?" Silvya memandang Papa dengan penuh harap.
"Baiklah, bawa dia ke apartementnya besok" kata Papa.
"Benarkah? Terima Kasih Pa" Silvya melambaikan tangannya dan keluar dari ruangan.
 "Maafkan Papa, Silvya" bisik Papa.
4 bulan berlalu, hari berjalan dengan cepat, dan semuanya terasa ringan, itu yang dirasakan Silvya dan Reyhan. Mereka saling melengkapi satu sama lain, melupakan masalah dan keresahan hati mereka yang sempat hinggap dalam tubuh mereka. Perlahan tapi pasti, Silvya merasakan sesuatu hal yang mengganjal perasaannya. Hatinya akan berdesir, darah nya mengalir dengan cepat dan jantungnya seakan berdetak tak beraturan jika menatap mata Reyhan dan melihat senyumannya. Silvya merasakan adanya perasaan cinta yang tumbuh dari dalam hatinya untuk Reyhan. Jika sebelumnya hanya ada nama Satrya yang terukir di hatinya, kini nama Reyhan ikut terukir disana. Bukan karena jantung Satrya yang ada dalam diri Reyhan hingga membuatnya jatuh cinta pada Reyhan, tapi rasa itu tumbul dengan sendirinya sepanjang dia telah mengenal Reyhan. Reyhan berhasil membuat Silvya jatuh kedalam pelukannya dan berangsur-angsur melupakan Satrya. Tapi Silvya ingin Reyhan mencintainya bukan karena dia menyamar sebagai Sania, Silvya mau Reyhan mencintainya sebagai Silvya Keysha. Tapi rasanya mustahil, dia disini, berada dihadapan Reyhan untuk menebus kesalahannya, tapi bukannya berkurang, rasa bersalah itu semakin banyak karena dia telah mencintai seorang Reyhan Pratama.
Silvya  memandangi Reyhan yang mengambil sebuah gitar berwarna coklat dari dalam kamarnya. Dia duduk disamping Silvya, meletakkan gitar itu diatas pahanya dan mulai memetik setiap senar gitar itu. Silvya  sedikit tersentak kaget mendengar setiap alunan nada yang keluar dari petikan gitar yang dimainkan Reyhan. Lagu itu sangat familiar, bahkan dia sangat mengenali lagu itu, lagu yang selalu Satrya  nyanyikan untuknya sebagai lagu pengantar tidur.
Silvya semakin memejamkan matanya erat, air mata mulai merembes keluar, tubuhnya bergetar, dia memegang dada Reyhan, dia bisa merasakan dengan jelas jantung Satrya berdetak begitu kencang, seolah ikut dalam kesedihannya saat ini, isakan Silvya mulai terdengar. Silvya membuka matanya secara perlahan saat tak didengarnya suara nyanyian dan suara petikan gitar Reyhan.
"Sssaakkkiiittt" Reyhan menggenggam tangan Silvya yang menyentuh dadanya, gitar yang berada dipangkuan Reyhan jatuh kelantai, keringat dingin mulai bercucuran keluar.
…………
"Maafkan Papa, Silvya. Maaf tak jujur dari awal tentang keadaan Reyhan yang sebenarnya. Setelah 2 bulan Reyhan melakukan pencangkokan jantung, keadaannya memburuk, jantung itu menolak bekerja dengan baik dari dalam dirinya karena dia tak pernah memeriksakan dan menjalani pengobatannya lagi" jelas Papa.
"Tapi aku mencintai Reyhan, Pa. Bukan karena ada jantung Satrya dalam dirinya, aku mencintainya dengan tulus. Aku tidak mau kehilangannya, sudah cukup Satrya Pa"
Papa tahu jika semuanya akan terasa berat saat waktu ini akan datang, tapi dia tidak menyangka bahwa dirinya sendiri tidak bisa menanggungnya, dia baru ingat jika Silvya akan kehilangan orang yang paling dicintainya untuk ke2 kalinya. Tak puaskah takdir mempermainkan perasaannya?
Silvya melangkahkan kakinya masuk secara perlahan, menyingkap tirai berwarna hijau itu, dan tampaklah seorang sosok Reyhan yang begitu rapuh diatas tempat tidur sedang menggeliat kesakitan, bermacam-macam alat telah dipasangkan di tubuh dan mulutnya sebagai penyanggah kehidupannya. Alat pendeteksi jantung terus berbunyi, Silvya melirik alat itu, disana terbaca jika jantung Satrya berdetak dengan sangat lemah.
"Reyhan......aku minta maaf....maafkan aku" Silvya memeluk Reyhan.
Reyhan tersenyum lembut dan mengelus rambut Silvya.
"Aku bukan Sania,........bukan..."
"Aku tahu" seru Reyhan, Silvya melepaskan pelukannya dan menatap Reyhan heran.
"Jangan membenci ku Reyhan. Aku mencintai mu" Silvya memegang tangan Reyhan yang masih mengelus pipinya.
"Tidak, aku tidak membenci mu. Tapi aku mencintaimu Silvya" suara Reyhan mulai memelan dan terdengar seperti bisikan.
……………….
Silvya berhenti didepan sebuah kamar bernomor 139, membuka pintu itu dengan pelan, senyumannya merekah setelah melihat pria yang dicintainya sedang sibuk membereskan pakaian-pakaiannya dan memasukkanya kedalam koper miliknya. Reyhan menoleh pada Sania dan tersenyum, menghampirinya yang masih berdiri diambang pintu. Dia memeluk Silvya yang mulai menangis. Silvya berterima kasih pada Satrya, mungkin saja dari surga sana, dia  ikut berdoa saat itu hingga Tuhan menyelamatkan Reyhan. Silvya menyandarkan kepalanya pada dada Reyhan dan mendengar detak jantung Satrya.
"Aku mencintai kalian" bisik Silvya pelan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar