MASIH SAMA
"Papa" panggil Silvya, gadis cantik berkulit
putih dengan mata coklatnya itu menambah kesan 'sempurna' dalam dirinya,
ditambah lagi dengan harta melimpah yang didapatkannya dari sang Ayah, Dokter
terkenal sekaligus pemilik Rumah Sakit terbesar di Indonesia.
"Ada apa, Silvya?" tanya Radityawan pada putri
semata wayangnya yang menatapnya dengan kesal.
"Bisakah Papa tidak memberikan banyak tugas untuk
Satrya?" pinta Silvya yang duduk dihadapan Ayahnya. Papa yang mendengar
permintaan Silvya hanya tersenyum geli, kini dia tau kenapa permaisurinyanya
itu begitu kesal dengannya. Ini semua ada sangkut pautnya dengan kekasih dari
Silvya yaitu Satrya Putra. Seorang Dokter Muda yang bekerja di Rumah Sakit Ayah
Silvya, atau bisa dikatakan Rumah Sakit milik calon ayah mertuanya.
"Sayang, itu memang sudah kewajiban Satrya untuk
melayani pasiennya" kata Papa lembut.
"Tapi Satrya juga punya kewajiban untuk menemaniku,
akukan calon istri nya" ucap Silvya dengan menekan kalimatnya dan
mengerucutkan bibir nya.
"Ya ampun, putri Papa jangan ngambek dong. Nanti
Papa akan memberitahu Satrya untuk meluangkan waktunya untukmu" bujuk
Papa.
"Janji?" tanya Silvya dengan mata yang
berbinar-binar, Papa yang melihatnya tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.
"Terima kasih Pa. Aku sangat sayang sama Papa"
Silvya memeluk Papanya sambil membenamkan kepalanya pada dada bidang Papa.
"Kau ini, sudah hampir menjadi istri tapi tetap saja
manja" gumam Papa.
"Biarin, yang penting Satrya cinta padaku"
ledek Silvya dan kembali tersenyum.
Satrya Putra, pria berparas tampan dengan kulit sawo
matang, rambut hitam kecoklatan dan setelan jas berwarna putih juga stetoskop
yang dikalungkannya dileher panjangnya itu baru saja keluar dari ruangan UGD.
Dia membuka sarung tangan karet nya dan memberikannya pada seorang suster yang
berjalan disampingnya. Satrya berjalan dengan penuh kewibawaan dan kharisma
dari dalam dirinya. Sesekali dia tersenyum pada orang-orang yang menyapanya,
seolah semua orang yang berada disana takluk padanya, mengingat bahwa dia
adalah seorang Dokter hebat yang sebentar lagi akan menjadi calon menantu dari
Kepala Dokter sekaligus pemilik Rumah Sakit mewah bertaraf International di
Indonesia.
Satrya masuk kedalam ruangannya, membuka stetoskop dan
menyimpannya diatas meja, lalu membuka jas putih yang dipakainya tadi pada
kursi empuk berwarna hitam, kini Satrya hanya memakai kemeja berwarna biru muda
dengan celana kain berwarna putih, dia duduk ditempatnya, merenggangkan
otot-otot tangan dan lehernya, sedetik kemudian dia menghentikan kegiatannya
itu saat pintu ruangannya terbuka dan tampaklah Silvya dengan pakaian modisnya
berdiri didepan pintu dengan raut wajah kesal.
"Aku baru saja ingin menghubungi mu" ujar
Satrya, Silvya hanya tersenyum kecut mendengarnya.
"Malam inikan kau berjanji padaku untuk makan malam
bersama. Kau tidak lupakan?" Silvya menatap Satrya.
"Hahaha, tentu saja tidak. Mau pergi sekarang?"
Wajah Silvya berubah menjadi senang seketika itu juga,
Satrya berdiri dari duduknya, berjalan menghampiri Silvya, menarik tangan
Silvya lembut dan merangkulnya dengan sangat mesra.
"Dokter Satrya… Dokter…"
Satrya dan Silvya menghentikan langkahnya saat mendengar
suara yang memanggil Satrya dari belakang. Mereka berbalik dan seorang suster
tengah berlari-lari kecil menghampiri Satrya dan Silvya.
"Ada apa suster?" tanya Satrya pada suster
berparas manis bernama Intan itu.
"Pasien dikamar 205 mengalami mimisan hebat Dok,
kami butuh bantuan anda" jawab suster dengan cemas. Satrya menengok kearah
Silvya yang mencibir.
"Silvya ..aku..."
"Sudahlah. Lupakan saja makan malam kita"
Silvya marah dan meninggalkan Satrya.
"Kau kembalilah, 15 menit lagi aku kesana"
suruh Satrya, suster mengangguk dan berjalan menjauh, sedangkan Satrya mengejar
Silvya kearah parkiran.
"Silvya, tunggu" Satrya menarik lengan Silvya
yang sudah membuka pintu mobilnya.
"Apa lagi? Sudahlah, urus saja pasienmu itu"
Silvya menepis tangan Satrya.
"Mengertilah sedikit Silvya, ini masalah nyawa"
ujar Satrya pelan.
"Mengerti? Aku sudah selalu mengerti mu, ini bukan
yang pertama kalinya kau membatalkan janji yang kau buat sendiri, dan ini
masalah perasaan Sat, perasaan ku" jelas Silvya yang hampir tecekat karena
menahan tangis.
"Aku janji, ini yang terakhir kalinya" mohon
Satrya.
Silvya memandang Satrya sebentar, menggelengkan kepalanya
dan masuk kedalam mobilnya. Silvya melajukan mobilnya menjauh dari Satrya.
"SILVYA!!" teriak Satrya dan berlari kearah
mobilnya, lalu mengejar Silvya.
Silvya menghapus
air matanya dengan 1 tangannya, sedangkan tangannya masih memegang stir mobil.
Dari arah kaca spion, dia bisa melihat mobil Satrya yang mengejarnya. Silvya
mengambil ponselnya yang berbunyi...
"Silvya
hentikan mobilmu. Kita bicara baik-baik" ucap Satrya dari balik
telepon.
"Aku kecewa padamu Sat, aku benci sifatmu ini"
isak Silvya yang masih menjalankan mobilnya.
"Aku minta maaf Silvya, tolong hentikan mobilmu
sekarang" kata Satrya yang mulai tak fokus dengan jalanan dihadapannya.
"AKU LELAH SAT" teriak Silvya dan menangis
dengan keras.
"Silvya aku......ARRRRGGGHHHHHHHH"
CKKKIIITTTT............BBBRRAAKKK........
Silvya menghentikan mobilnya saat itu juga setelah
mendengar teriakan Satrya dan suara benturan yang sangat keras dari arah
belakang. Silvya buru-buru membuka pintu mobilnya dan keluar dari sana, ponsel
yang dipegangnya saat itu juga jatuh diatas aspal dan hancur berkeping-keping
melihat kejadian yang berada tak jauh didepannya. Mobil sport berwarna merah
yang sangat dikenalinya itu tertindih mobil lain yang lebih besar dan
mengeluarkan asap dipersimpangan jalan. Air mata dan jantung Silvya berdetak
lebih cepat, tubuhnya kaku tak bisa bergerak sama sekali.
"Saaattt" lirih Silvya pelan.
Rintik-rintik hujan turun membasahi kota Jakarta saat
itu, seolah ikut menangis karena telah kehilangan anak tuhan yang berhati
malaikat dan berotak pintar, jika biasanya dialah yang menyelamatkan nyawa
orang lain, dia malah tak bisa menyelamatkan nyawanya sendiri. Suara tangis
dari beberapa kerabat pria itu menangis dengan tersedu menatap peti yang
didalamnya terdapat pria yang terbujur kaku akan segera dimasukkan dalam kubur.
Ibu dari pria itu telah pingsan karena tak kuasa menahan kesedihannya,
sedangkan Silvya, wanita bermata coklat itu menatap kuburan Satrya dengan raut
wajah datar, Radityawan melirik putrinya, merangkul bahu Silvya dan memeluknya.
"Hendra, Sintya, kami permisi dulu" pamit
Radityawan dan Silvya.
Ayah Satrya menatap Silvya yang masih menampakkan raut
wajah datar dan pandangan mata yang kosong, "Ikhlaskan Satrya, Sil"
Silvya menatap ayah Satrya dengan menggelengkan kepalanya
dan mulai menangis, Sintya yang melihat itu ikut menangis dan lebih memilih
diam.
"Hati-hati dijalan Dit" ujar ayah Satrya,
Radityawan mengangguk dan melangkahkan kakinya bersama Silvya dengan masih
merangkul bahu putri semata wayangnya itu.
3 bulan berlalu semenjak kematian Satrya, semua orang
berduka dan merasa kehilangan atas perginya Dokter tampan itu. Setiap hari
Silvya dihantui rasa bersalah, andai saja saat itu Satrya tak berjanji padanya,
andai saja saat itu dia mau menunggu Satrya sebentar unttuk merawat pasiennya,
andai saja saat itu dia tak marah padanya, andai saja saat itu dia tak bilang
benci padanya, andai saja saat itu Satrya tak mengejarnya, mungkin kini dia
masih bisa bersama Silvya. Angan-angan untuk menjadi nyonya Satrya pun
menghilang, beserta hilangnya sosok seorang Satrya Putra dari hidupnya. Silvya
hanya bisa berandai-andai saat ini, jika saja Tuhan memberinya kesempatan
kedua, dia ingin menebus kesalahannya itu pada Satrya. Papa memandangi Silvya
yang duduk dibalkon rumah mereka, semenjak perginya Satrya, Silvya menjadi
pendiam dan lebih sering mengurung dirinya. Papa ingin diri Silvya yang dulu,
Silvya yang manja, Silvya yang cerewet, Silvya yang akan selalu merengek jika
menginginkan sesuatu, Silvya yang akan tersenyum lebar jika dia bisa mendapatkan
apa yang diinginkannya.Papa mengalihkan pandangannya pada sebuah amplop coklat
yang dipegangnya, dia berjalan menghampiri Silvya dan memberikan amplop tadi
pada Silvya.
Silvya masuk kedalam Rumah Sakit milik Papanya itu dengan
tergesa-gesa, mencari sebuah kamar yang diakatakan Papanya tadi. Silvya
berhenti didepan sebuah kamar yang bernomor 135, Silvya menatap keseluruh
ruangan yang cukup luas itu melalu kaca jendela didepan pintu, Silvya memegang
knop pintu, memutarnya dan mendorongnya, Silvya masuk kedalam ruangan itu,
pandangannya tertuju pada ranjang yang diatasnya tertidur seorang pria dengan
alat infus dan alat oksigen yang dipakainya. Silvya menatap pria itu dari atas
sampai kebawah, menelusuri setiap lekukan wajah pria berpas tampan nan manis
yang dihadapannya.
"Namanya Reyhan Pratama, usianya 24 tahun, dia
mengidap penyakit kelainan jantung sejak kecil, dia seorang yatim piatu. Saat
keadaannya kronis dan membutuhkan donor jantung secepatnya, saat itulah Satrya
datang menyelamatkannya dengan mendonorkan jantungnya. Papa tahu kau merasa
bersalah dengan Satrya, cobalah untuk menebus rasa bersalahmu itu pada Reyhan,
karena setengah dari diri Reyhan itu adalah Satrya"
Cerita Papa tadi masih terngiang ditelinga Silvya, menuntun
tangannya untuk menyentuh dada pria bernama Reyhan itu. Dia bisa merasakan jika
jantung milik Satrya masih berdetak dengan beraturan,Silvya segera menarik
tangannya dan menutup mulutnya dengan kedua tangannya saat dia kembali
menangis.
"Reyhan" panggil Yunho
Pria yang dipanggil Reyhan itu tidak menyahut ataupun
membalikkan tubuhnya, dia hanya terus memandangi anak-anak yang bermain di
taman Rumah Sakit melalui jendela kamar rawatnya. Papa menghampiri Reyhan,
menarik salah satu kursi dan duduk disamping Reyhan yang memang sedang diatas
kursi rodanya.
"Reyhan, apa kau mau berjanji padaku untuk menjalani
pengobatan lagi agar jantung baru dalam diri mu itu bisa bekerja dengan baik,
jika Sania datang kemari?"
Papa berhasil membuat Reyhan menatapnya, dia telah
berhasil membuat Reyhan mau mengeluarkan suaranya hanya dengan cara mengatakan
bahwa Sania akan datang. Tapi perlu kalian ingat, bukan Sania yang asli,
melainkan Sania yang palsu.
"Sania....akan kemari?" ulang Reyhan dengan
suara pelan.
"Iya, Sania ada disini. Jadi, kau mau
berjanjikan?"
Reyhan mengangguk dengan mata yang berbinar-binar dengan
senyuman yang tampak seperti anak kecil. Rasanya Papa sudah sangat lama tidak
melihat ekspresi bahagia dari salah satu pasien kesayangannya itu, semenjak
Sania pergi, Reyhan kehilangan segalanya. Dan kini, kebahagiaan, semangat
hidup, dan senyuman itu akan segera kembali pada Reyhan lagi.
"Reyhan"
Reyhan segera berbalik saat mendengar suara wanita yang
memanggilnya, air matanya turun dari pelupuk matanya. Papa berdiri, mendorong
kursi roda Reyhan untuk menghampiri Silvya yang mulai kini akan menjadi Sania
dihadapan Reyhan.
"Sania"
Senyuman terukir diwajah Reyhan, senyuman yang begitu
manis dan tampak seperti senyum anak kecil yang bahagia jika mendapatkan
permen. Setes air mata mulai turun sedikit demi sedikit dari pelupuk mata
Reyhan. Silvya ikut tersenyum melihatnya, entah kenapa hatinya bahagia melihat
Reyhan, senyuman yang juga mirip dengan senyuman Satrya. Silvya menatap Papa,
yang tersenyum dengan menganggukkan kepalanya.
"Aku merindukan mu Reyhan" Silvya berjongkok
didepan Reyhan dengan memeluk pria itu, Reyhan membalas pelukan Silvya. Silvya
memandangi wajah damai Reyhan yang sedang tertidur, tidak seperti yang dilihatnya
tempo hari, wajah Reyhan kini lebih segar dan terlihat dia begitu nyaman dalam
tidurnya. Dia mungkin telah berhasil membuat keadaan Reyhan lebih baik semenjak
kedatangannya yang sebagai Sania, bukankah itu berarti Sania sangat berarti
untuknya?
"Sat, apa kau merasa kita dekat kembali?" kata
Silvya yang memegang dada Reyhan.
"Papa" Silvya masuk kedalam ruangan, semenjak
memutuskan untuk menyamar menjadi Sania, Silvya banyak menghabiskan waktunya di
Rumah Sakit.
"Hmm?" Papa mengalihkan pandangannya pada
Silvya dari beberapa berkas yang berada di hadapannya
"Apa Reyhan sudah bisa keluar Rumah Sakit?"
tanya Silvya
"Dari hasil pemeriksaan, kesehatan Reyhan memang
mulai stabil, padahal kau baru seminggu ini menemaninya" cerita Papa.
"Jadi?" Silvya memandang Papa dengan penuh
harap.
"Baiklah, bawa dia ke apartementnya besok" kata
Papa.
"Benarkah? Terima Kasih Pa" Silvya melambaikan
tangannya dan keluar dari ruangan.
"Maafkan Papa, Silvya" bisik Papa.
4 bulan berlalu, hari berjalan dengan cepat, dan semuanya
terasa ringan, itu yang dirasakan Silvya dan Reyhan. Mereka saling melengkapi
satu sama lain, melupakan masalah dan keresahan hati mereka yang sempat hinggap
dalam tubuh mereka. Perlahan tapi pasti, Silvya merasakan sesuatu hal yang
mengganjal perasaannya. Hatinya akan berdesir, darah nya mengalir dengan cepat
dan jantungnya seakan berdetak tak beraturan jika menatap mata Reyhan dan
melihat senyumannya. Silvya merasakan adanya perasaan cinta yang tumbuh dari
dalam hatinya untuk Reyhan. Jika sebelumnya hanya ada nama Satrya yang terukir
di hatinya, kini nama Reyhan ikut terukir disana. Bukan karena jantung Satrya
yang ada dalam diri Reyhan hingga membuatnya jatuh cinta pada Reyhan, tapi rasa
itu tumbul dengan sendirinya sepanjang dia telah mengenal Reyhan. Reyhan
berhasil membuat Silvya jatuh kedalam pelukannya dan berangsur-angsur melupakan
Satrya. Tapi Silvya ingin Reyhan mencintainya bukan karena dia menyamar sebagai
Sania, Silvya mau Reyhan mencintainya sebagai Silvya Keysha. Tapi rasanya
mustahil, dia disini, berada dihadapan Reyhan untuk menebus kesalahannya, tapi
bukannya berkurang, rasa bersalah itu semakin banyak karena dia telah mencintai
seorang Reyhan Pratama.
Silvya memandangi
Reyhan yang mengambil sebuah gitar berwarna coklat dari dalam kamarnya. Dia
duduk disamping Silvya, meletakkan gitar itu diatas pahanya dan mulai memetik
setiap senar gitar itu. Silvya sedikit
tersentak kaget mendengar setiap alunan nada yang keluar dari petikan gitar
yang dimainkan Reyhan. Lagu itu sangat familiar, bahkan dia sangat mengenali lagu
itu, lagu yang selalu Satrya nyanyikan
untuknya sebagai lagu pengantar tidur.
Silvya semakin memejamkan matanya erat, air mata mulai
merembes keluar, tubuhnya bergetar, dia memegang dada Reyhan, dia bisa
merasakan dengan jelas jantung Satrya berdetak begitu kencang, seolah ikut
dalam kesedihannya saat ini, isakan Silvya mulai terdengar. Silvya membuka
matanya secara perlahan saat tak didengarnya suara nyanyian dan suara petikan
gitar Reyhan.
"Sssaakkkiiittt" Reyhan menggenggam tangan
Silvya yang menyentuh dadanya, gitar yang berada dipangkuan Reyhan jatuh
kelantai, keringat dingin mulai bercucuran keluar.
…………
"Maafkan Papa, Silvya. Maaf tak jujur dari awal
tentang keadaan Reyhan yang sebenarnya. Setelah 2 bulan Reyhan melakukan
pencangkokan jantung, keadaannya memburuk, jantung itu menolak bekerja dengan
baik dari dalam dirinya karena dia tak pernah memeriksakan dan menjalani
pengobatannya lagi" jelas Papa.
"Tapi aku mencintai Reyhan, Pa. Bukan karena ada
jantung Satrya dalam dirinya, aku mencintainya dengan tulus. Aku tidak mau kehilangannya,
sudah cukup Satrya Pa"
Papa tahu jika semuanya akan terasa berat saat waktu ini
akan datang, tapi dia tidak menyangka bahwa dirinya sendiri tidak bisa
menanggungnya, dia baru ingat jika Silvya akan kehilangan orang yang paling
dicintainya untuk ke2 kalinya. Tak puaskah takdir mempermainkan perasaannya?
Silvya melangkahkan kakinya masuk secara perlahan,
menyingkap tirai berwarna hijau itu, dan tampaklah seorang sosok Reyhan yang
begitu rapuh diatas tempat tidur sedang menggeliat kesakitan, bermacam-macam
alat telah dipasangkan di tubuh dan mulutnya sebagai penyanggah kehidupannya.
Alat pendeteksi jantung terus berbunyi, Silvya melirik alat itu, disana terbaca
jika jantung Satrya berdetak dengan sangat lemah.
"Reyhan......aku minta maaf....maafkan aku"
Silvya memeluk Reyhan.
Reyhan
tersenyum lembut dan mengelus rambut Silvya.
"Aku bukan Sania,........bukan..."
"Aku tahu" seru Reyhan, Silvya melepaskan
pelukannya dan menatap Reyhan heran.
"Jangan membenci ku Reyhan. Aku mencintai mu"
Silvya memegang tangan Reyhan yang masih mengelus pipinya.
"Tidak, aku tidak membenci mu. Tapi aku mencintaimu
Silvya" suara Reyhan mulai memelan dan terdengar seperti bisikan.
……………….
Silvya berhenti didepan sebuah kamar bernomor 139,
membuka pintu itu dengan pelan, senyumannya merekah setelah melihat pria yang
dicintainya sedang sibuk membereskan pakaian-pakaiannya dan memasukkanya
kedalam koper miliknya. Reyhan menoleh pada Sania dan tersenyum, menghampirinya
yang masih berdiri diambang pintu. Dia memeluk Silvya yang mulai menangis.
Silvya berterima kasih pada Satrya, mungkin saja dari surga sana, dia ikut berdoa saat itu hingga Tuhan
menyelamatkan Reyhan. Silvya menyandarkan kepalanya pada dada Reyhan dan
mendengar detak jantung Satrya.
"Aku mencintai kalian" bisik Silvya pelan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar